Jumat, 14 Juli 2017

Eksistensi Waria Kesenian Ludruk di Tengah Gerusan Zaman Modern

Sejarah Ludruk
Bagi kalian yang hidup di daerah Jawa Timur tentu tidak asing dengan kesenian Ludruk, sebuah kesenian yang sejak lama tumbuh dan berkembang di Jawa Timur. Menurut etimologi atau bahasa kata ludruk berasal dari kata gela gelo dan gedrak gedruk. Gela gelo (gelang geleng) Sedangkan gedrak gedruk berarti kakinya menghentak saat di pentas. (Ahmadi, 1987:7) Ludruk adalah suatu kesenian drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang dipergelarkan di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari hari, cerita perjuangan yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik . (http://id.m.wikipedia.org/wiki/ludruk ). Sebagai kesenian asal Jawa Timur, keberadaan kesenian ludruk ini sudah mulai ditinggalkan oleh peminatnya karena serbuan masuk hiburan modern dan kurang nya upaya pelestarian dari pemerintah yang terkait.

Waria dalam Ludruk

Munculnya waria dalam kesenian ludruk diawali sebagai peraturan agama islam yang mengakar di pesantren pesantren Jawa Timur yang melarang lelaki dan perempuan tidak boleh ada dalam satu panggung. Kemudian setelah itu ludruk diisi oleh pria yang berdandan layaknya perempuan (untuk menggantikan peran perempuan asli) – Dalam riset Ganisa P Rumpoko “Eksistensi Transgender dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan”
Disebuah panggung ludruk yang berada di Desa Pakisjajar Kec Pakis Kab Malang, beberapa lelaki
terlihat sibuk untuk merias wajah nya. Mereka akan mengikuti pementasan seni Ludruk “Putra Mandala” asal Kab Malang. Tersebutlah nama lahir Sugeng Warso Enggal yang kini biasa dipanggil Yuri Firnanda. Salah satu waria penggiat kesenian Ludruk yang ada di Kab Malang. Yuri merupakan salah satu waria pengisi acara di pertunjukan ini. Semua pengisi acara malam itu adalah laki laki. Yuri (Foto kiri – Jaket abu abu) seringkali dipanggil untuk berkesenian ludruk. “Ya kadangkala sepi, kadang rame mas. Ndak tentu juga tergantung musim nya.” Ujar nya sambil tangan nya tetap konsen merias wajah nya.  “Mending gini mas, daripada nyebong (melacur – indonesia) dijalan mas. Dikejar kejar satpol pp, belum lagi banyak prematur (preman- Indonesia)” Lanjut nya lagi kepada penulis.


Yuri bahkan tanpa malu mengaku bahwa dia dan kawan kawan nya lelaki yang main di panggung ludruk sebagian besar telah merubah ekspresi gender mereka sebagai waria (wanita pria). Bagaimana sikap keluarga ketika dia berdandan ala perempuan. Padahal fisik nya seorang lelaki. Tapi dia bisa membuktikan kepada keluarga bahwa dirinya bisa bermanfaat dan tidak merepotkan orang tuanya.  “Saya bilang ke bapak saya, saya bisa cari uang sendiri dan semoga tidak lagi meminta uang” Kemudian Bapak nya menjawab bahwa yang penting jangan membuat jelek nama orang tua. jawaban itu sudah membuat saya lega menjalani hidup sebagai waria.” Jawab Yuri” (Rappler, 25 Maret 2016)


Acara diawali dengan Tarian Beskalan, yaitu tarian khas Malang sebagai pembuka acara tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan bedayan yang mempertunjukkan lelaki lelaki berbusana kebaya kemudian beradu gemulai di atas panggung. Layaknya seorang peragawati, mereka bergantian berlenggak lenggok untuk menampilkan keindahan tarian bedayan.

Ketika dijumpai di belakang panggung, Yuri mengaku dirinya dan rekan rekan nya, adalah laki laki yang berperan sebagai perempuan dalam ludruk. Rangkaian acara ditutup dengan kesenian ludruk yang mengangkat kisah rumah tangga keseharian penduduk desa yang disertai bumbu humor dari pelawak yang keseluruhan nya adalah laki laki baik yang berperan sebagai laki laki maupun pelawak laki laki yang berperan sebagai perempuan.

Pada awal nya sejarah ludruk di Malang diawali dari perlawanan pada masa perjuangan oleh karena itu lakon, dan cerita yang dimainkan selalu mengacu pada kehidupan sehari hari di era perjuangan. Ditambah pula monolog  (adegan yang dilakukan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang diri) yang sangat menghibur penonton menggunakan bahasa sehari hari khas Ngalam (Malang) yang sangat mudah dimengerti oleh berbagai kalangan baik kalangan atas maupun menengah kebawah. Candaan candaan segar khas Ngalam juga tidak lupa dilontarkan yang menambah kehangatan suasana di Kab Malang yang mulai terasa dingin.

Setiap Kelompok Ludruk sepertinya mempunyai aturan sendiri dalam memunculkan waria untuk menarik penonton. Ada yang memunculkan sebagai selingan saja, untuk menari dan nembang. Ada pula yang menempatkan saat menari remo, dagelan maupun pemain nya. Tidak menampik, bahwa kemunculan waria waria ludruk ini sangat menarik minat penonton pria yang lebih besar. Penonton pria lebih bergairah dan berhasrat untuk menonton pemain ludruk waria ini dengan polesan merah bibir dan pipi, mepertunjukkan payudara montok, dan pantat yang bohai serta tidak lupa menunjukkan wajah cantik mereka. Selain itu pula pemain ludruk waria ini juga lebih luwes dan berani daripada pemain ludruk perempuan asli. Di desa desa, selain waria pemain ludruk banyak juga waria waria penjaja seksual yang menawarkan kenikmatan di balik balik panggung. Praktik homoseksual sudah menjadi rahasia umum dalam lingkungan ludruk. Hal hal ini juga lah yang menarik penonton untuk berbondong bondong dalam menyaksikan kesenian ludruk ini.



Kehadiran waria di lingkungan ludruk ini menjadi unsur yang sangat ditunggu oleh penonton dan penikmat ludruk. Keberadaan waria ini bagaikan pusat gravitasi yang sangat menarik bagi semua kalangan yang hadir untuk menonton pertunjukan ludruk ini. Suka atau tidak suka, senang atau tidak kehadiran mereka inilah yang selalu ditunggu oleh penikmat kesenian ludruk yang hampir tergerus oleh modernisasi zaman. Mereka adalah penerus budaya yang kini kian ditinggalkan oleh penikmatnya.